Jumat, 17 Oktober 2014
Home »
Mengapa Siswa Pasif ?
»
MENGAPA DI KELAS SISWA PASIF ?
Kita tentu berharap agar kegiatan belajar-mengajar
aktif dan eksploratif tetap diwujudkan. Namun, harus diakui, di sinilah
tantangan mewujudkan belajar siswa aktif, termasuk aktif bertanya dan mencari
sendiri. Langkah apa untuk mewujudkan itu? Kita perlu paham sumber masalah yang
membuat kelas pasif.
MENGAPA DI KELAS SISWA PASIF ?
Satu masalah yang sangat serius dihadapi di sekolah
adalah mewujudkan pola belajar-mengajar yang membuat siswa aktif bertanya dan
guru dilarang berceramah terlebih dahulu. Ini terutama pada awal tatap muka di
kelas: siswa harus bertanya dulu, lalu ditanggapi siswa lain atau guru. Keluhan
paling umum, adalah ruang kelas jadi sunyi. Bermenit-menit waktu berlalu dan
terbuang sia-sia, tak ada siswa bertanya. Meski berkali-kali guru minta siswa
mengajukan masalah apa pun yang berhubungan dengan pelajaran atau materi
tertentu, tetap saja mereka diam. Dan kelas Sunyi!
Kadang-kadang satu-dua siswa terpaksa bertanya, tetapi
tetap tidak berlanjut pada semua siswa aktif bertanya jawab. Guru tak mungkin
membiarkan kelas sunyi dalam beberapa menit. Akhirnya ada guru yang memilih
kembali ke model konvensional: banyak ceramah, membagikan lembar kerja siswa,
atau kegiatan lain. Yang penting di kelas tetap ada aktivitas.
Ada Lima hal Penyebab Siswa Pasif
Paling sedikit lima hal membuat siswa tidak aktif
bertanya: malu atau minder, takut, tidak
mengerti, patuh, dan mental meremehkan.
Pertama, malu atau minder cukup banyak diidap
anak-anak kita. Bagi mereka, menampilkan diri di depan umum sama dengan
mempermalukan diri sendiri. Supaya tidak dipermalukan (diri sendiri), sebaiknya
tidak usah menonjol. Siswa pemalu umumnya berlatar sosial lemah: miskin, bodoh,
jelek, ndeso. Kemiskinan, kebodohan, kejelekan, dan ke-ndeso-an adalah
realitas sehari-hari di negeri kita. Kita cenderung memandang remeh bahkan
menjauhi mereka. Jika sudah demikian, siswa pemalu akan memilih diam di kelas:
datang, duduk, diam, lalu pulang.
Biasanya siswa penakut tidak mau bertanya dan
menanggapi meski sudah punya bahan bertanya atau menjawab. Mereka baru
berbicara setelah bahan yang sama sudah ditanyakan atau sudah dijawab orang
lain.
Kedua, siswa menjadi penakut karena tidak mau
mengambil risiko jika pertanyaannya atau jawabannya salah. Siswa seperti ini
sudah punya pengalaman buruk (baik dialaminya sendiri maupun dialami orang
lain) bahwa kalau pertanyaan dan jawabannya salah atau jelek, ia harus terima
risiko diolok-olok, dimarahi, dikata-katakan jelek, bahkan mendapat hukuman
dari guru atau orang lebih tua dalam keluarga.
Realitas di sekolah dan dalam masyarakat: orang sering
menghukum anak yang salah dalam berbicara, bertanya, atau menjawab. Bentuknya
bisa berupa olokan, kemarahan, bahkan pemukulan. Anak-anak memilih diam. Lagi
pula, masyarakat kita yang paternalistik tidak membiasakan anak-anak
mengeluarkan pendapat, mengkritik orangtua, bahkan tidak memiliki hak mengambil
keputusan penting. Yang dijunjung: diam dan patuh.
Ketiga, siswa tidak mengerti. Sampai saat ini
kita bukan tipe pembaca buku atau media; juga bukan tipe pencipta dan pembaru.
Inilah yang membuat siswa tak mau bergerak mencari sendiri (termasuk uji coba)
di luar kegiatan belajar-mengajar untuk memperkaya wawasan dan pengalaman
mereka. Maka, ketika masuk kelas, mereka dalam keadaan tidak tahu. Bahkan,
siswa tidak tahu apakah dia belum atau sudah tahu suatu hal. Ini bisa
dibuktikan dengan mengajukan pertanyaan ”apakah sudah mengerti” yang direspons
dengan diam belaka. Ditanya ”mana yang belum mengerti”, ya, diam juga. Jadi,
siswa bingung sendiri mana yang sudah ia ketahui dan mana yang belum ia
ketahui. Mereka memilih diam di kelas.
Keengganan siswa memburu wawasan dipengaruhi oleh
nilai yang akan diberikan guru. Siswa tahu bahwa tinggi-rendah nilai yang ia
peroleh bergantung pada bisa-tidak dia menjawab soal yang diberikan. Karena
itu, betapa pun luas wawasannya, kalau tak ada dalam soal ujian, tetaplah ia
sulit dapat nilai tinggi.
Keempat, siswa
patuh. Sudah lama pelaksana pendidikan kita mengajarkan
kepatuhan dan penghormatan antar individu kepada anak-anak: harus patuh dan
hormat kepada yang lebih tua, lebih tinggi sekolahnya, lebih kaya, dan lebih
berkuasa. Karena di kelas masih ada guru yang dipandang lebih tua usianya dan
lebih tinggi tingkat pendidikannya, siswa akan kesulitan mengajukan pendapat
yang sekiranya berbeda dari gurunya.
Jika Kita menghendaki siswa bertanya dan menjawab,
siswa khawatir kalau-kalau pendapat mereka tidak sesuai dengan pendapat
gurunya. Mereka risi sendiri dan memilih patuh saja pada pendapat guru.
Kelima, mentalitas meremehkan. Ada siswa yang
meremehkan materi pelajaran di kelas lantaran mereka tahu bahwa di luar sana
banyak orang bisa hidup tanpa harus menguasai materi pelajaran itu.
Tindakan yang
dapat dilakukan.
Perubahan tatanan sosial
Untuk menciptakan siswa aktif bertanya, kita perlu
mempersempit kesenjangan sosial. Jika masih gagal merapatkan kesenjangan
sosial, kita perlu membangun mentalitas positif kaum bawah untuk tetap harus optimistis
dan percaya diri. Hukuman bagi siswa di sekolah ataupun dalam masyarakat harus
dihentikan guna menumbuhkan percaya diri dan keberanian anak. Anak-anak harus
diikutkan bahkan bisa jadi penentu dalam pengambilan keputusan atau kebijakan
di rumah, masyarakat, dan sekolah. Iklim ini membuat anak-anak kita pemberani
dan terampil berpendapat.
Kesempitan wawasan bisa diatasi dengan sistem
penilaian yang bukan lagi pada kemampuan siswa menjawab soal, melainkan pada
keluasan wawasan siswa menyampaikan pendapat dan analisisnya. Berani karena benar
harus benar-benar ditanamkaan pada siswa, meski akhirnya membongkar kesalahan
atau kelemahan guru/orangtua sendiri. Selama beberapa hal ini belum bisa kita
singkirkan pada masyarakat dan di sekolah, Kondisi siswa aktif tak pernah bisa dicapai.
Check Page Rank of your Web site pages instantly: |
This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service |