Fenomena lahirnya penulis-penulis muda di Indonesia, seperti Andrea Hirata, yang juga menjadi salah satu narasumber dalam talk show yang bertajuk “Menulis! Siapa Takut?” tersebut seharusnya menjadi cambuk bagi kita untuk mengikis keengganan dalam menulis, dan lebih berani mengasah kemampuan literasi kita.
Tak ada yang tahu pasti apa penyebab sindrom malas menulis tersebut, yang jelas kenyataan bahwa menulis belum menjadi budaya masyarakat memang sangat menyedihkan. Menurut Muchtar Bucheri, kemampuan baca tulis masyarakat Indonesia (36%) berada di urutan kedua setelah Venezuela (33,9%), sedangkan rasio membaca Indonesia dan negara berkembang lainnya 1 buku untuk 4 orang; negara maju, 4 buku satu orang (Djojonegoro 1995). Sementara itu, data terbaru yang dilansir oleh Taufik Ismail menyebutkan bahwa perbandingan buku yang wajib dibaca dalam waktu tiga tahun di sekolah, di ruang perpustakaan menunjukkan bahwa di Thailand Selatan siswa membaca 5 judul, di Malaysia 6 judul, Rusia 12, Kanada 13 judul, di Jepang 15, di Swiss 15, dan Jerman 22, di Perancis 20 buku, Belanda 20 buku, di Amerika 30 judul buku, dan di Indonesia nol buku baik di desa muapun di kota sejak 1983-2006. (Republika, 20 Februari 2008).
Masyarakat Indonesia sebagian besar memang masih senang melanggengkan budaya oral. Sejak dulu masyarakat kita memang dikenal sebagai masyarakat pencerita. Hal ini dapat dilihat dari bukti sejarah bahwa dalam budaya kita dikenal adanya pencerita yaitu orang yang bercerita tentang tatanan kehidupan, nasihat dll, sehingga terbentuklah cerita rakyat (folklore). Di masa perjuangan lahirlah orator-orator ulung sekelas Bung Karno, atau Bung Tomo. Namun, tak tahukah Anda bahwa orang yang lidahnya tajam, berbeda dengan orang yang penanya tajam, setidaknya begitulah pendapat Qoris Tajudin, dalam talk show yang digelar oleh mahasiswa FISIP UI tersebut.
Sesungguhnya, tak kurang-kurang pemerhati budaya dan pendidikan mengembar-gemborkan budaya menulis dan membaca. Apabila dikaji lebih dalam, menulis ternyata menyimpan segudang kekuatan. Menulis, dalam hal ini tidak hanya menuangkan isi kepala ke dalam berlembar-lembar kertas. Menulis disinyalir dapat meningkatkan kecerdasan. Untuk dapat mengumpulkan dan menyusun kata-kata menjadi sebuah rangkaian kalimat dan paragraf, yang akhirnya menjadi tulisan yang padu; seseorang harus memiliki ilmu yang cukup. Namun, bagi pemula tidak perlu khawatir sebab menulis juga merupakan sebuah proses berpikir, dan mengasah otak pun memerlukan waktu, bukan sebuah pekerjaan instan. Aktivitas menulis, yang merangkaikan kalimat menjadi sebuah paragraf yang kohesif dan koheren, membutuhkan kerjasama otak yang harmonis. Aktivitas menulis membuat kita belajar untuk berpikir logis dan analitis. Dalam sebuah proses penulisan akan ada perunutan masalah mengapa A bisa menjadi B, dan mengapa ketika A bertemu dengan B bisa menjadi C; sehingga dalam proses penulisan tersebut tidak ada lompatan logika. Lebih lanjut, Redaktur Koran Tempo tersebut menyebutkan bahwa tidak ada tulisan yang jelek, yang ada adalah tulisan yang tidak logis.
Sistem kerja otak
Otak adalah organ yang tetap hidup selama manusia masih menghembuskan nafas. Otaklah yang membuat kita bergerak mengambil air minum tatkala kita haus. Otak pulalah yang memerintahkan kita untuk makan, tidur, dan berlari menyelamatkan diri ketika situasi mengancam keselamatan hidup kita. Disebabkan kerja otaklah kita mampu bertahan ketika menghadapi kondisi alam yang ekstrem, seperti kepanasan atau kedinginan. Otak jugalah yang membuat manusia mampu menjelajahi ruang angkasa dan kedalaman samudera. Dengan kata lain, otak adalah modal utama manusia untuk bertahan hidup, menjadi lebih baik, dan membongkar rahasia alam semesta. Dan, otak juga yang membedakan kualitas manusia yang satu dengan yang lain sehingga yang satu layak dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya. Satu yang harus selalu diingat adalah bahwa alat yang menakjubkan, yang kita sebut otak ini bisa berkarat dan tumpul jika tidak digunakan. Oleh karenanya, tidak heran jika harga otak yang terlatih dengan otak yang tidak terlatih memang berbeda.
Otak manusia terdiri atas 1000 juta sel. Setiap sel berhubungan dengan sekurang-kurangnya 10 sel yang berbeda untuk fungsi yang berbeda pula. Pada umumnya otak mempunyai lima bagian utama, yaitu: otak besar (serebrum), otak tengah (mesensefalon), otak kecil (serebelum), sumsum sambung (medulla oblongata), dan jembatan varol. Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktifitas mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan atau gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu, terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, menarik kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut terdapat bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya, bagian depan merupakan pusat proses berpikir (yaitu mengingat, menganalisis, berbicara, berkreasi) dan emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang. Otak tengah (mesensefalon), otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran. Otak kecil (serebelum), mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya, gerakan sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan.
Para linguis membagi otak manusia menjadi dua bagian, yaitu belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan otak kanan (right hemisphere). Otak belahan kiri berhubungan dengan logika, analisis, bahasa, rangkaian (sequence), dan matematika. Belahan otak kiri ini merespon masukan yang membutuhkan kemampuan mengupas/meninjau (critiquing), menyatakan (declying), menganalisis, menjelaskan, berdiskusi, dan memutuskan (jugdjing). Sementara itu, belahan otak kanan berkaitan dengan ritme, kreativitas, warna, imajinasi, dan dimensi. Oleh karenanya, belahan otak ini berfungsi kalau manusia beraktivitas, misalnya menggambar, menunjuk, memeragakan, bermain, berolahraga, bernyanyi, dan beraktivitas motorik lainnya, termasuk di dalamnya aktivitas menulis.
Menulislah!
Menulis, yang merupakan kegiatan menumpahkan ide, gagasan, dan perasaan lewat tulisan; sudah barang tentu tidak bisa terlepas dari peran otak. Tulisan adalah sebuah ”permainan bebas” unsur-unsur bahasa dalam komunikasi. Ia juga sebuah proses perubahan makna secara terus-menerus. Untuk dapat menuangkan ide dan gagasan dalam ”permainan” tersebut diperlukan keahlian untuk menuangkannya secara tertib dan tertata. Dan yang bertanggung jawab dalam pengurutan dan keteraturan adalah otak belahan kiri. Sementara itu, otak belahan kanan bertugas mengatur imajinasi dan kreativitas. Apabila kedua belahan itu dapat bersinergi, tak khayal lagi otak akan berkembang secara seimbang. Menulis juga dapat mempercepat pematangan right hemisfer, dan dapat berpengaruh ke left hemisfer karena adanya cross-over dari kanan ke kiri dan sebaliknya yang sangat kompleks dari jaras-jaras neuronal di otak. Polarisasi keseimbangan otak tersebut adalah kemudahan dalam mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang lain, seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Selain itu, informasi dapat diserap dan diproses dengan lebih efektif.
Kecerdasan yang sering diasumsikan sebagai kecerdasan intelektual belaka sebenarnya tidak cukup. Kecerdasan yang demikian sama halnya dengan mengembangkan satu belahan otak saja, yaitu otak kiri. Padahal, dalam hidupnya, manusia tidak hanya membutuhkan kecerdasan secara intelegensi tetapi juga kecerdasan secara emosional dan spiritual. Sementara itu, IQ hanya digunakan untuk melihat dan membayangkan ruang dan mencari hubungan logis antarperistiwa atau kasus. IQ tidak dapat digunakan untuk kreativitas, kemampuan sosialisasi, dan kearifan lainnya. Padahal, dalam kegiatan menulis seseorang dapat dengan bebas berimajinasi. Imajinasi berarti membiarkan otak mengembara mencari dimensi kebenaran alamiah, membayangkan bentuk, ruang, warna, waktu, dan beragam imaji lain. Namun, pengembaraan itu tetap dikontrol oleh belahan otak kiri dengan melakukan analisis, kritik, dan lain-lain. Oleh karenanya, dengan menulis seseorang tidak hanya diajak untuk mengembangkan belahan otak kiri tetapi juga otak belahan kanan. Dengan otak belahan kanan manusia diajarkan untuk cerdas secara emosional dan spiritual.
Untuk mengasah kecerdasan diperlukan upaya untuk memahami segala sesuatu, baik kejadian yang dialami, dibaca, maupun dilihat. Dalam pemahaman itulah terjalin suatu hubungan kerjasama otak antara penyusunan imaji dan perangkaiannya dalam suatu bentuk komunikasi, yang dalam hal ini adalah tulisan. Efek atau suasana perasaan dan emosi baik persepsi, ekspresi, maupun kesadaran pengalaman emosional, secara predominan diperantarai oleh right hemisfer. Artinya, hemisfer ini memainkan peran besar dalam perkembangan emosi, yang sangat penting bagi perkembangan sifat-sifat manusia yang manusiawi. Kehalusan dan kepekaan seseorang untuk dapat ikut merasakan perasaan orang lain, menghayati pengalaman kehidupan dengan "perasaan", adalah fungsi otak kanan, sedang kemampuan mengerti perasaan orang lain, mengerti pengalaman dengan rasio adalah fungsi otak kiri. Kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan manusiawi dengan orang lain merupakan percampuran antara otak kanan dan kiri.
Menulis juga merupakan pengejawantahan kegiatan membaca, baik yang berasal dari bacaan, pengalaman maupun penafsiran. Kemampuan menulis yang tidak diimbangi dengan kemampuan membaca bagaikan sayur tanpa garam. Agar dapat melakukan analisis yang tajam, bukti dan data yang akurat dan terpercaya, seorang penulis dituntun untuk mampu membaca semua fenomena yang ada.
Dalam mengukur kemampuan berbahasa, refleksi merupakan kemampuan metabahasa yang menjadi indikator kecerdasan. Seseorang yang telah memiliki budaya menulis tidak saja dapat dipastikan cerdas secara linguistis tetapi juga cerdas secara intelektual, sebab ia membuktikan tidak saja mampu berbahasa tetapi juga mampu mengemukakan data, fakta, serta analisisnya dalam bentuk tulisan.
Budaya baca-tulis yang kuat ternyata dapat mempercepat proses terciptanya komunitas terdidik dengan kesempatan belajar yang tak terbatas, mempercepat penjalaran dan pembiakan pengetahuan serta mendorong terciptanya ruang-ruang kreativitas baru bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan hidup sehingga terbentuk manusia-manusia yang cerdas hanya dengan melalui pengembangan budaya baca-tulis. Telaah lebih jauh memperlihatkan bahwa anak yang biasa atau gemar membaca terbukti jauh lebih pandai, serta memiliki IQ dan EQ yang lebih tinggi daripada anak yang kurang banyak membaca. Anak yang senang membaca mempunyai penalaran dan tingkat kecerdasan yang jauh di atas rata-rata kelas, dan tingkat emosionalnya sangat seimbang. Bahkan dalam melakukan ”problem solving” rata-rata lebih logis pemikirannya, disertai dengan bahasa yang runtut dan santun.
Menulis sebagai salah satu bentuk komunikasi afektif dapat memberikan pengalaman emosional. Emosi, yang merupakan suatu pengalaman subjektif, dimiliki oleh setiap manusia. Kemampuan merasakan, menghayati, dan mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan melalui proses menulis sejak dini. Karena itu, menulislah, maka kau akan cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar